Etika Berpolitik di Kampus: Antara Idealisme dan Praktik

Politik kampus sering dipandang sebagai ruang belajar demokrasi. Namun, realitanya, politik mahasiswa tidak selalu berjalan mulus. Ada sisi idealisme yang memotivasi perubahan positif, tapi tak jarang praktik pragmatisme dan ambisi pribadi ikut mewarnai dinamika ini.

Artikel ini membahas etika berpolitik di kampus, tantangan menjaga idealisme, serta cara agar politik kampus tetap menjadi sarana pembelajaran, bukan sekadar perebutan kekuasaan.


Idealisme dalam Politik Mahasiswa

Idealisme adalah roh politik kampus yang sejati. Mahasiswa yang idealis:

  • Memperjuangkan aspirasi kolektif, bukan kepentingan pribadi.

  • Menjunjung tinggi nilai akademik dan integritas.

  • Menggunakan politik sebagai sarana edukasi, bukan hanya ambisi jabatan.

Contoh idealisme terlihat saat mahasiswa memperjuangkan:

  • Fasilitas kampus yang lebih baik

  • Program beasiswa untuk teman-teman seangkatan

  • Kebijakan akademik yang adil dan transparan

Dalam konteks ini, politik kampus adalah laboratorium demokrasi, tempat mahasiswa belajar menyampaikan aspirasi, berdiskusi, dan memimpin.


Praktik Politik yang Kurang Sehat

Namun, tidak semua berjalan mulus. Beberapa praktik politik kampus yang merusak etika antara lain:

  • Perebutan jabatan secara agresif → ambisi individu lebih diutamakan daripada kepentingan mahasiswa.

  • Kampanye hitam dan gosip antar kandidat → mengikis kepercayaan antar mahasiswa.

  • Mobilisasi massa yang manipulatif → menggunakan pengaruh atau tekanan untuk mendapatkan dukungan.

  • Intervensi pihak luar → kepentingan eksternal mengubah arah politik kampus.

Praktik semacam ini dapat menimbulkan konflik, polarisasi, dan menurunkan kualitas demokrasi di kampus.


Tantangan Menjaga Idealime

Menyeimbangkan idealisme dan praktik nyata bukan hal mudah. Beberapa tantangan yang sering muncul:

  1. Polarisasi pemikiran → mahasiswa terbagi menjadi kubu pro dan kontra.

  2. Pragmatisme → ada yang memilih strategi untuk menang, bukan untuk kepentingan kolektif.

  3. Kurangnya literasi politik → mahasiswa belum memahami aturan main organisasi.

Tanpa kesadaran etika, politik kampus bisa berubah dari ruang belajar menjadi arena intrik dan persaingan ego.


Solusi: Politik Kampus yang Sehat

Beberapa langkah untuk menjaga etika berpolitik di kampus:

  • Transparansi dan akuntabilitas → semua keputusan dan program kerja harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.

  • Pendidikan politik mahasiswa → seminar, workshop, dan pelatihan organisasi agar mahasiswa memahami etika.

  • Menjunjung nilai integritas → menolak kampanye hitam, money politics, atau intervensi eksternal.

  • Dialog terbuka → membiasakan diskusi kritis antar organisasi agar konflik dapat dikelola sehat.

Dengan langkah-langkah ini, politik kampus bisa menjadi ruang belajar etika, kepemimpinan, dan demokrasi.


Penutup

Politik kampus adalah arena yang memadukan idealisme dan praktik nyata. Di satu sisi, mahasiswa belajar memimpin, menyampaikan aspirasi, dan membangun solidaritas. Di sisi lain, praktik ambisi dan konflik kepentingan bisa merusak nilai-nilai akademik.

Kuncinya adalah etika dan kesadaran: mahasiswa yang sadar akan tanggung jawabnya bisa memastikan politik kampus tetap menjadi laboratorium demokrasi yang sehat, bukan sekadar arena perebutan kekuasaan.

Latif
Latif

Penulis di Portfolio Saya